Kuliah Umum FSRD ITB dan Musashino Art University, Bahas Desain Furnitur, Archetype Design, dan Identitas Lokal
Oleh Ahmad Fauzi - Mahasiswa Rekayasa Kehutanan, 2021
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.

BANDUNG, itb.ac.id – Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menggelar kuliah terbuka di Gedung CADL, ITB Kampus Ganesha, Rabu (26/12/2025). Kuliah terbuka ini merupakan bentuk kerja sama antara FSRD ITB dengan Musashino Art University, Jepang.
Pada kuliah ini, terdapat tiga pembicara, yakni Prof. Shinichi Ito, Prof. Takaaki Bando, dan Prof. Isshin Sasaki.
Sesi pertama dimulai dengan pematerian dari Prof. Shinichi Ito dengan topik “The Relationship between Space and Furniture”. Beliau menjelaskan bahwa manusia dapat menciptakan kemiripan dan keselarasan antara ruang dan furnitur dengan mengombinasikan warna dan bentuk yang sesuai.
“Bentuk dan warna pada furnitur akan berpengaruh pada arsitektur suatu ruangan. Namun, fungsi atau kegunaan suatu furnitur juga perlu dipertimbangkan,” ujarnya.
Adapun perbedaan preferensi manusia di zaman yang berbeda menyebabkan perbedaan perbedaan tren arsitektur. Contohnya antara abad ke-20 dan abad ke-21. Pada abad ke-20, orang lebih menyukai rumah yang tidak bersentuhan langsung dengan alam, sedangkan pada abad ke-21 orang lebih menyukai rumah yang bersentuhan langsung dengan alam.
Struktur juga tak kalah penting dalam menentukan bentuk suatu furnitur. “Perhitungan matematika dan fisika juga penting dalam menentukan bentuk suatu furnitur pada suatu ruang,” ujarnya.
Sesi selanjutnya pematerian oleh Prof. Takaaki Bando yang menyampaikan materi bertema “Exploring the Archetypes of Design: Why Did Homo Sapiens Begin to Create Art”. Beliau menjelaskan konsep “morphopoiesis”, sebuah konsep yang berakar pada archetype design. Morphopoiesis berasal dari kata “morph” yang berarti bentuk dan “poiesis” atau poetika.
Beliau menjelaskan konsep afterimage of the sun, visible mimicry, negative mimicry, dan ambiguous mimicry.
Sementara itu, visible mimicry adalah mimikri yang dapat dilihat dengan pola, bentuk, warna yang unik. “Terdapat banyak bentuk dan warna yang indah di alam. Hewan, tumbuhan, dan alam membentuk formasi yang selaras,” katanya.
Salah satu bentuk visible mimicry adalah pola “mata” pada sayap kupu-kupu yang memiliki kemiripan dengan bentuk afterimage of the sun.
Beliau pun menjelaskan keterkaitan antara afterimage of the sun dengan visible mimicry. “Makhluk hidup lain menghiasi tubuh dengan citra sisa matahari, sementara manusia menjadikannya pola dalam lukisan sebagai dorongan kreatif,” tuturnya.
Negative mimicry adalah mimikri yang bertujuan untuk menyembunyikan identitas suatu objek, sedangkan ambiguous mimicry adalah mimikri yang menyebabkan penafsiran ganda.
Terakhir, pematerian oleh Prof. Isshin Sasaki dengan topik “Design as a Tool for Cultivating Local Identity”.
Beliau menjelaskan penelitiannya mengenai pameran desain Wakasa Lacquerware. Wakasa Lacquerware merupakan desain kerajinan yang berasal dari Desa Obama, Prefektur Fukui yang terinspirasi dari bentuk dan pola dasar laut di Teluk Wakasa.
Beliau membuat desain Wakasa lacquerware dari dua bahan utama, yakni kain putih dan pecchin (potongan sumpit). “Baik kain maupun pecchin berasal dari daerah Fukui sehingga desain ini mengangkat identitas lokal,” tuturnya.
Beliau menuturkan pameran dilakukan di studio dengan kain membentang dan pecchin yang berhamburan sehingga dapat dinikmati oleh pengunjung. Selain itu, terdapat sesi berbagi cerita tentang sumpit dari pengunjung. Lalu, terdapat animasi tentang sumpit dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Reporter: Ahmad Fauzi (Rekayasa Kehutanan, 2021)